Wednesday, 13 April 2016

REVISI UU Pilkada Serentak

REVISI UU PILKADA SERENTAK
Imam M Kamal *)
Pilkada serentak Tahun 2015 menghadirkan fenomena calon tunggal, di 3 (tiga) daerah yang hanya memiliki calon tunggal adalah Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Kabupaten Blitar di Jawa Timur, serta Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan satu daerah lagi yaitu di Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB) Pasangan Salman-Jannah Hamdiana memenangkan gugatan ke KPU Kota Mataram, setelah gugatannya dikabulkan Panwaslu Kota Mataram. Sejumlah daerah yang memiliki calon dua pasangpun masih kemungkinan berakhir dengan calon tunggal, seperti di Indramayu, calon wakil bupati Rasta Wiguna yang mengundurkan diri.
Selain itu ada upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan sejumlah pihak mengenai calon tunggal. Fenomena calon tunggal ini , banyak faktor yang mendukungnya : pertama persyaratan calon dari perseorangan yang cukup berat, kedua putusan MK, dimana anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus mengundurkan diri. Ketiga kalkulasi ongkos politik melawan calon pertahana
Hadirnya fenomena Calon tunggal peran dan fungsi partai politik kembali dipertanyakan, apa saja yang telah dilakukan parpol, sampai terjadi calon tunggal di sejumlah daerah. Politik bukan hitungan satu tambah satu, namun ada banyak kepentingan yang mengikuti.
Jalan keluar yang sempat mencuat adalah Perppu Pilkada Serentak, keluarnya Perppu ini menjadi pro kontra, pihak yang pro , solusi bagi daerah yang habis masa jabatannya, dengan adanya perppu tidak menghambat jalannya roda pemerintahan, juga biaya yang sudah dikeluarkan selama tahapan Pilkada berlangsung tidak mubazir. Sedangkan bagi yang kontra Perppu Pilkada Serentak tidak memenuhi unsur kegentingan, serta penundaan Pilkada disejumlah daerah tidak akan menghambat roda pemerintahan.
Pekerjaan Rumah yang menjadi persoalan sekarang, jika UU Pilkadanya tetap, maka fenomena calon tunggal pada Pilkada serentak selanjutnya Tahun 2017 akan terulang, untuk itu alternatif yang paling memungkinkan adalah adanya sejumlah revisi pasal-pasal dalam UU Pilkada bukan dengan Perppu, Beberapa pasal yang harus diubah adalah ambang batas pencalonan, untuk perseorangan sebaiknya kembali keaturan lama, sedangkan bagi parpol syarat 20 % kursi dan 25 % suara pemilu dihapuskan, cukup parpol yang mempunyai kursi di DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota berhak mengajukan calon pada Pilkada dimasing-masing Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pada aturan lama calon perseorangan dengan penduduk diatas 1 juta , hanya 3 %, sedangkan pada aturan baru 6,5 %, dari sisi administrasi hal ini cukup memberatkan, juga biaya yang dikeluarkan untuk verifikasi berkas.
Sedangkan penghapusan syarat 20 % kursi dan 25 % suara pemilu, diharapkan mendorong lahirnya kader-kader partai politik dan  keberanian partai politik mengajukan pasangan untuk dicalonkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Dalam UU Pilkada No. 8 Tahun 2015  yang sekarang, sudah ada beberapa aturan yang meringankan pendanaan kampanye masing masing pasangan calon yaitu : pengadaan bahan dan alat peraga kampanye yang dibiayai negara. Sehingga pelonggaran syarat pencalonan bisa meningkatkan partisipasi politik warga negara dalam pemilihan  Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
Akhirnya kita berharap fenomena calon tunggal bisa segera diatasi oleh para pengambil kebijakan, dan roda pemerintahan berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan, serta terpilih calon-calon yang memiliki latar belakang bersih, profesional, dan memiliki visi misi dalam membangun daerahnya masing-masing berdasarkan potensi daerah, serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.



*) Analis Politik

No comments:

Post a Comment