RUANG KOMPROMI UU PEMILU
SERENTAK
Imam M Kamal *)
Pemilu 2019 adalah pemilu serentak
pertama Pemilihan legilatif anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota serta Pemilihan Presiden, sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor : 14/PUU-XI/2013. MK mempertimbangkan tiga hal pokok , yakni kaitan
antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial,
efektivitas dan efisiensi penyelenggaran pemilihan umum serta hak warga negara
untuk memilih secara cerdas.
UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012
sebelumnya mengatur bahwa tahapan Pemilu dimulai 30 Bulan sebelum
pelaksanaannya, Tentunya Pemilu 2019, perlu ada payung hukum berupa
Undang-undang yang mengatur keserentakannya, pileg dan pilpres, ini akan menjadi
pekerjaan rumah Pemerintah dan DPR untuk merumuskan kembali Revisi UU Paket
Pemilu. Rancangan Revisi UU Pemilu (UU
Parpol, UU Pemilu, UU Pilpres) tentunya nanti akan kembali mengundang
perdebatan panas di DPR, setidaknya ada 4 (empat) ruang kompromi menarik yang
akan mengemuka pada pembahasan UU Paket Pemilu diantaranya :
1.
Proporsional
terbuka dan tertutup ?
2.
Ambang
Batas Parpol di Parlemen ?
3.
Ambang
Batas Pengajuan Calon Presiden dan Wapres apakah diatur ?
4.
Syarat-syarat
Partai Politik ?
Pertama, kembali masalah sistem Proporsional
terbuka dan tertutup tetap akan menjadi bahasan yang menarik , alasan pertama
ini terutama desakan sejumlah kalangan politisi, dari semakin maraknya politik
uang, menjelang Pemilu Legislatif 2014, sehingga beberapa calon yang potensial
tersungkur oleh calon-calon yang memiliki sumber dana yang besar. Alasan Kedua
kaderisasi di tubuh Parpol jika calon yang menang adalah calon eksternal, yang
sebelumnya hanya untuk menarik pemilih, jelas merugikan parpol yang berusaha membina
kadernya siang malam , ketika pemilu yang dapat suara yang memiliki sumber dana
yang melimpah. Alasan Ketiga Sesuai UUD 1945 Pasal 22 E ayat (3)
Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik. Walaupun saat ini beredar
keinginan dari Pemerintah Pemilu menggunakan sistem terbuka terbatas.
Kedua, Ambang batas Parpol di Parlemen yang pada
pemilu 2014 diatas 3,5 %, ini sebagai upaya untuk penyederhanaan parpol, namun
bagi sejumlah kalangan politisi ambang batas diatas 3,5 %, tersebut telah menghilangkan
jutaan hak suara pemilih yang harusnya terwakili di Parlemen, persoalan ambang
batas, akan kembali menyita waktu perdebatan apalagi jika ambang batas kembali
naik menjadi 5 %, tentunya jika diberlakukan akan kembali menghilangkan kembali
perwakilan beberapa partai politik di Parlemen. Namun sebaiknya tidak dengan
menaikan ambang batas parpol di parlemen tapi penyederhanaan partai politik
adalah dengan akomodasi adanya parpol kubu oposisi dalam Parlemen, sehingga di
parlemen hanya ada parpol kubu oposisi dan parpol kubu pemerintah, setuju
dengan pendapat Prof. Jimly, di DPR
Ketua DPR didampingi 2 wakil ketua DPR, wakil 1 dari kubu pemerintah, 1
dari kubu oposisi, dengan memperbanyak sub-sub komisi. Ini tentunya harus
dicapai kesepakatan para elit partai politik dan pemerintah.
Ketiga, Ambang batas Pengajuan Calon
Presiden dan Wakil Presiden, karena pemilu 2019 adalah pileg dan pilpres yang
serentak, sehingga ambang batas mana yang dipakai? apa hasil pemilu 2014 ? padahal hasil pemilu 2014 sudah dipakai waktu
pendaftaran pilpres 2014, sehingga pada pemilu 2019, semua parpol modalnya nol
persen (0%), sehingga tidak ada persyaratan persentase dukungan suara Partai
politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, hal yang mungkin
terjadi pada pemilu 2019 dan sudah pernah terjadi pada pemilu 2014, presiden
terpilih bukan berasal dari parpol pemenang pemilu. Karena pemilu 2019 serentak,
maka ini akan menarik apakah pilihan parpol akan menjadi preferensi memilih calon
presiden dan wakil presiden, atau sebaliknya calon presiden dan wakil presiden
yang menarik pemilih akan meningkatkan suara partai politik.
Keempat, Syarat-syarat Partai Politik
yang sudah diatur pada UU no. 2 tahun 2011 sudah cukup memberatkan pembentukan
parpol, karena itu , untuk UU Parpol 90 % tidak perlu berubah, hanya perlu
kejelasan kedudukan Mahkamah Partai berkaca dari kasus dualisme Partai Golkar
dan PPP, harus dikasih jenis kelamin yang jelas, tidak mengambang, bahkan
menjadi bahan perkara keluar masuk Pengadilan sampai Mahkamah Agung. Terpenting
adalah perbaikan tata kelola partai politik, karena dari Parpol akan lahir
calon pemimpin bangsa, alangkah mirisnya parpol hanya terlihat geliatnya hanya
menjelang Pemilu atau Pilkada.
Akhirnya kita semua berharap Revisi UU
Pemilu Serentak dalam rangka menyambut Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak
pertama Pileg dan Pilpres bisa membawa amanat para pendiri bangsa, sesuai
pembukaan UUD 1945 membentuk suatu pemerintahan, memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. serta
tak kalah pentingnya perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
No comments:
Post a Comment