https://www.youtube.com/watch?v=gmWj5o0P-qg
Friday, 30 September 2016
Wednesday, 28 September 2016
Tuesday, 27 September 2016
Buzzer Hiburan Pilkada DKI
Buzzer Hiburan Pilkada DKI
Pemilihan
Gubernur DKI TANGGAL 15 Februari 2017 akan diikuti 3 pasangan : Ahok-Djarot,
Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Tak kalah rame adalah gerakan Tim Hore yaitu para
buzzer, sejak daftar sebagai calon Gubernur DKI. Para Buzzer sudah mulai
beroperasi banyak meme yang lucu, satir, bahkan penuh kebencian, mereka
bergerak sesuai dinamika pasangan masing-masing. Hanya ada yang dilakukan
secara sporadis sesuai kontrak ada yang dilakukan secara terencana sesuai
pesanan.
Para
Buzzer sudah menjadi hiburan Pilkada DKI, kita berharap para buzzer mendukung
calonnya dilakukan dengan hati riang gembira, karena kalau pakai sewot dan
penuh kebencian , Pilkada DKI mengalami kemunduran.
Pemilih
Jakarta bukanlah pemilih rasional tetapi pemilih yang sama dengan kota-kota
Indonesia lainnya, suka Pilkada yang bersifat POP, sehingga semua Cagub berhasrat
bermain di media sosial, walau KPU sudah ada aturan akun sosmed namun perilaku
para buzzer tidak akan bisa dikontrol.
Buzzer
telah menjadi bumbu demokrasi langsung yang sangat terbuka tentunya kita harus
siap dengan konsekuensi ada sangat lembut ada juga yang sangat kasar atas perbedaan
dukungan-dukungan atas pilihan, perjalanan demokrasi di Indonesia harus
dibangun kelapangan dada para calon dan etika dari para pendukung, sehingga
lahir era demokrasi yang santun , damai dan berkualitas. Tentu kualitas ini
akan ditentukan oleh semua pihak yang terlibat dalam demokrasi. Semoga para
buzzer bekerja penuh etika untuk terwujudnya pilkada yang berkualitas, jika
para buzzer masih bermain area fitnah dan caci maki maka mereka sesungguhnya
sampah demokrasi di era media sosial.
Monday, 26 September 2016
Pertarungan PILKADA DKI
Pertarungan PILKADA DKI
Pemilihan
Gubernur DKI akan diikuti 3 pasangan : Ahok-Djarot, Agus-Sylvi dan Anies-Sandi.
Pertarungan ini akan berlangsung sengit hal ini terkait kinerja pertahana yang
dianggap banyak melakukan pelanggaran kemanusiaan terkait penggusuran, kasus
sumber waras, kasus cengkareng dll.
Ini
menjadi kesempatan sang penantang Agus-Sylvi dan Anies-Sandi untuk
memaksimalkan potensi meraih suara, Pilkada DKI ini beda dengan Pilkada
serentak lainnya bisa menang dengan
selisih, sedangkan Pilkada DKI , pemenang harus 50 % + 1, sehingga sangat berat
dengan kontestan 3 pasangan calon.
Dinamika
politik hari ini, posisi Agus-Sylvi mulai mendapat respon bagus disaat
elektabilitas Ahok terus menurun. Agus –Sylvi, hasil ramuan politik SBY tentu
sebagai Presiden 2 periode, SBY memahami psikologis pemilih Indonesia yang
belum berubah masih senang-senang pencitraan yang memabukan, hasilnya
pencitraan kondisi yang belum berajak membaik Indonesia pada saat sekarang ini.
Perbaikan
politik di Indonesia tentunya masih jauh
panggang dari apinya, ketika rasionalitas pemilih masih dibelenggu, uang,
ganteng, santun dll, disaat solusi permasalahan di DKI Jakarta semakin pelik.
Masalah reklamasi , sumber waras , penggusuran adalah batu sandungan pertahana,
sehingga akan memuluskan langkah dua penantang, sekarang perang media sudah
dilaksanakan para pendukunggnya.
Perang
buzzer ini bisa efektif untuk kalangan tertentu, untuk masa rakyat kecil, maka
operasi-operasi darat dari tim sukses akan sangat efektif, perlu nafas panjang
jika pilgub ini kemungkinan akan berlangsung dua putaran. Tentunya diperlukan
biaya yang sangat besar. Semoga Pilkada ini berlangsung akan sangat menarik. Semoga
masih ada kewarasan di Pilkada DKI.
Friday, 23 September 2016
Gempa Politik dari Cikeas
Gempa Politik dari Cikeas
Pasca
diusungnya Ahok-Djarot oleh koalisi PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura dalam
Pilgub DKI 2017, dinihari tadi koalisi cikeas, dimotori SBY, PD, PPP,PKB dan
PAN, mengusung Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai Cagub dan Cawagub,
pengusungan pasangan Agus-Sylviana melalui proses panjang dan alot dimana ,
sebelumnya berharap koalisi didukung PKS dan Gerindra, namun sampai dini hari
tadi tidak terjadi kesepakatan yang dicapai.
Pasangan
Agus-Sylviana membuat gempa politik, karena diluar dugaan, maklum karier agus
cukup bagus dan juga pangkatnya baru Mayor Infanteri, ini tentu membuat banyak
pihak bertanya-tanya, banyak yang menyesalkan, pertimbangan-pertimbangan yang
diangkat adalah Menampilkan sosok fresh di DKI. Peluang menang pasangan ini
50-50, hal ini sangat tergantung perubahan sikap pemilih, jika pemilih masih
senang yang aneh-aneh, maka peluang agus mengalahkan Ahok sangat besar.
Jikapun
Agus kalah ini modal besar agus masuk dunia politik dan melanjutkan karier
politik di Partai Demokrat. Ini tentunya harapan politik kedepan para mantan
Presiden Megawati dan SBY mampu menghadirkan perbaikan politik yang lebih baik,
karena perjalanan bangsa ini sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin
melakukan estafet kekuasaan dengan baik dan
menghadirkan perbaikan bangsa, jangan sampai semua keputusan politik
sudah tergadai oleh kepentingan kepentingan pengusaha ataupun mafia, sungguh
itu akan menjadi kerugian kelak, dunia dan akhirat. Semoga.
Thursday, 22 September 2016
Wednesday, 21 September 2016
Pilihan Megawati Yang Penuh Resiko
Pilihan Megawati Yang Penuh Resiko
Tadi
malam PDIP secara resmi mengusung Ahok-Djarot sebagai pasangan Calon Gubernur
DKI periode 2017-2022, pilihan ini diambil setelah beberapa kali Risma menolak
menjadi Calon Gubernur DKI. Pilihan cagub Ahok-djarot adalah pilihan yang penuh
resiko, pilihan ini disinyalir tidak sesuai dengan platform wong cilik, kasus
penggusuran-penggusuran dilakukan Ahok selama ini, sudah menyakiti wong cilik.
Isu-isu
pun bertebaran di media, mulai Mahar T rupiah, Megawati akan digoyang kasus besar,
sebagai barter penunjukan Ka BIN, semua
itu isu-isu yang belum tentu kebenarannya. Namun pilihan ini , pilihan yang
penuh resiko, dampak luasnya adalah akan tumbangnya PDIP pada Pemilu 2019, jika
lawan politik mampu mengelola dengan baik. Bahkan pada Pilkada 2017 jika hanya
dua calon kemungkinan besar Ahok-Djarot akan tumbang.
Tinta
sudah ditulis , pena sudah diangkat pilihan ini, pilihan yang tidak hanya
didunia namun juga kelak diakhirat akan diminta pertanggungjawaban, semoga
Megawati mengerti akan segala resikonya. Pertarungan berikutnya bukanlah lagi
pertarungan sederhana tapi harus bertarung ide-ide dan solusi permasalahan
Jakarta, juga kemungkinan terjadinya politik uang, harus diawasi selama
pelaksanaan Pilkada DKI, karena sangat banyak kepentingan-kepentingan pemodal
terhadap calon gubernur DKI yang akan terpilih, ini tentu menjadi PR semua
pihak yang berkepentingan terhadap Pilkada DKI. Semoga pemilih dapat memilih
secara sadar tanpa tekanan.
Tuesday, 20 September 2016
Monday, 19 September 2016
RUANG KOMPROMI UU PEMILU SERENTAK
RUANG KOMPROMI UU PEMILU
SERENTAK
Imam M Kamal *)
Pemilu 2019 adalah pemilu serentak
pertama Pemilihan legilatif anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota serta Pemilihan Presiden, sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor : 14/PUU-XI/2013. MK mempertimbangkan tiga hal pokok , yakni kaitan
antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial,
efektivitas dan efisiensi penyelenggaran pemilihan umum serta hak warga negara
untuk memilih secara cerdas.
UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012
sebelumnya mengatur bahwa tahapan Pemilu dimulai 30 Bulan sebelum
pelaksanaannya, Tentunya Pemilu 2019, perlu ada payung hukum berupa
Undang-undang yang mengatur keserentakannya, pileg dan pilpres, ini akan menjadi
pekerjaan rumah Pemerintah dan DPR untuk merumuskan kembali Revisi UU Paket
Pemilu. Rancangan Revisi UU Pemilu (UU
Parpol, UU Pemilu, UU Pilpres) tentunya nanti akan kembali mengundang
perdebatan panas di DPR, setidaknya ada 4 (empat) ruang kompromi menarik yang
akan mengemuka pada pembahasan UU Paket Pemilu diantaranya :
1.
Proporsional
terbuka dan tertutup ?
2.
Ambang
Batas Parpol di Parlemen ?
3.
Ambang
Batas Pengajuan Calon Presiden dan Wapres apakah diatur ?
4.
Syarat-syarat
Partai Politik ?
Pertama, kembali masalah sistem Proporsional
terbuka dan tertutup tetap akan menjadi bahasan yang menarik , alasan pertama
ini terutama desakan sejumlah kalangan politisi, dari semakin maraknya politik
uang, menjelang Pemilu Legislatif 2014, sehingga beberapa calon yang potensial
tersungkur oleh calon-calon yang memiliki sumber dana yang besar. Alasan Kedua
kaderisasi di tubuh Parpol jika calon yang menang adalah calon eksternal, yang
sebelumnya hanya untuk menarik pemilih, jelas merugikan parpol yang berusaha membina
kadernya siang malam , ketika pemilu yang dapat suara yang memiliki sumber dana
yang melimpah. Alasan Ketiga Sesuai UUD 1945 Pasal 22 E ayat (3)
Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik. Walaupun saat ini beredar
keinginan dari Pemerintah Pemilu menggunakan sistem terbuka terbatas.
Kedua, Ambang batas Parpol di Parlemen yang pada
pemilu 2014 diatas 3,5 %, ini sebagai upaya untuk penyederhanaan parpol, namun
bagi sejumlah kalangan politisi ambang batas diatas 3,5 %, tersebut telah menghilangkan
jutaan hak suara pemilih yang harusnya terwakili di Parlemen, persoalan ambang
batas, akan kembali menyita waktu perdebatan apalagi jika ambang batas kembali
naik menjadi 5 %, tentunya jika diberlakukan akan kembali menghilangkan kembali
perwakilan beberapa partai politik di Parlemen. Namun sebaiknya tidak dengan
menaikan ambang batas parpol di parlemen tapi penyederhanaan partai politik
adalah dengan akomodasi adanya parpol kubu oposisi dalam Parlemen, sehingga di
parlemen hanya ada parpol kubu oposisi dan parpol kubu pemerintah, setuju
dengan pendapat Prof. Jimly, di DPR
Ketua DPR didampingi 2 wakil ketua DPR, wakil 1 dari kubu pemerintah, 1
dari kubu oposisi, dengan memperbanyak sub-sub komisi. Ini tentunya harus
dicapai kesepakatan para elit partai politik dan pemerintah.
Ketiga, Ambang batas Pengajuan Calon
Presiden dan Wakil Presiden, karena pemilu 2019 adalah pileg dan pilpres yang
serentak, sehingga ambang batas mana yang dipakai? apa hasil pemilu 2014 ? padahal hasil pemilu 2014 sudah dipakai waktu
pendaftaran pilpres 2014, sehingga pada pemilu 2019, semua parpol modalnya nol
persen (0%), sehingga tidak ada persyaratan persentase dukungan suara Partai
politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden, hal yang mungkin
terjadi pada pemilu 2019 dan sudah pernah terjadi pada pemilu 2014, presiden
terpilih bukan berasal dari parpol pemenang pemilu. Karena pemilu 2019 serentak,
maka ini akan menarik apakah pilihan parpol akan menjadi preferensi memilih calon
presiden dan wakil presiden, atau sebaliknya calon presiden dan wakil presiden
yang menarik pemilih akan meningkatkan suara partai politik.
Keempat, Syarat-syarat Partai Politik
yang sudah diatur pada UU no. 2 tahun 2011 sudah cukup memberatkan pembentukan
parpol, karena itu , untuk UU Parpol 90 % tidak perlu berubah, hanya perlu
kejelasan kedudukan Mahkamah Partai berkaca dari kasus dualisme Partai Golkar
dan PPP, harus dikasih jenis kelamin yang jelas, tidak mengambang, bahkan
menjadi bahan perkara keluar masuk Pengadilan sampai Mahkamah Agung. Terpenting
adalah perbaikan tata kelola partai politik, karena dari Parpol akan lahir
calon pemimpin bangsa, alangkah mirisnya parpol hanya terlihat geliatnya hanya
menjelang Pemilu atau Pilkada.
Akhirnya kita semua berharap Revisi UU
Pemilu Serentak dalam rangka menyambut Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak
pertama Pileg dan Pilpres bisa membawa amanat para pendiri bangsa, sesuai
pembukaan UUD 1945 membentuk suatu pemerintahan, memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. serta
tak kalah pentingnya perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Subscribe to:
Posts (Atom)