Politik
Tuesday, 27 December 2016
Friday, 18 November 2016
MASA DEPAN KOALISI PARPOL DAN PEMILU 2019
MASA DEPAN KOALISI PARPOL DAN
PEMILU 2019
Imam M Kamal
Email: fast_98@yahoo.co.id
Abstrak :
Koalisi yang dibangun dalam pemilihan presiden dan
wakil presiden Tahun 2014, sangat rentan terjadi tarik menarik pasca
terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan presiden, tawaran kursi kekuasaan
berupa kursi menteri dikabinet tidak bisa dihindari, padahal koalisi yang
terbentuk sebelum pemilihan presiden, diharapkan menjadi model baru sistem
politik di Indonesia, dimana ada kubu oposisi dan kubu pemerintah, sehingga
pelaksanaan pemerintahan selalu terjadi pengawasan dan koreksi atas setiap
kebijakan pemerintah, sehingga kondisi ini harus menjadi kesepakatan bersama
elit, agar koalisi tidak rapuh dan rentan, namun juga fungsi oposisi dalam
mengawasi pemerintahan juga berjalan dengan baik. Sehingga lahirnya era baru
sistem politik di Indonesia, Koalisi Pemerintah dan koalisi oposisi. Hal ini
bisa terwujud jika ada perbaikan sistem politik, tata kelola partai politik dan
sistem pemerintahan.
Kata
Kunci : Parpol, Koalisi Parpol, Pemilu
I.
Pendahuluan
Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 mnyajikan sebuah koalisi yang
diharapkan menjadi wajah baru dalam sistem politik di Indonesia, dimana Koalisi
Partai Politik (Parpol) ketika memasuki Pemilihan Presiden Tahun 2014 terbelah
menjadi dua Kubu, kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang mencalonkan Pasangan
Prabowo-Hatta Rajasa yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Gerindra, PKS,
PAN, PPP, serta kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mencalonkan Pasangan
Jokowi-JK yang terdiri dari PDIP, Partai Nasdem, PKB dan Partai Hanura. Pada
Akhirnya Pemilihan Presiden dimenangkan oleh Pasangan Jokowi-JK.
Perjalanan
politik kubu KMP satu persatu parpol lepas meninggalkan kubu KMP, koalisi yang
dibangun Prabowo Subianto, lepasnya Parpol-parpol dari koalisi KMP setelah
terjadi pergantian Ketua Umum masing–masing Parpol, mulai PAN, PPP, terakhir
Partai Golkar. Tarikan kekuasaan sangat mempengaruhi koalisi parpol di
Indonesia, sehingga koalisi KMP tinggal menyisakan Partai Gerindra dan PKS. Ini
cukup menyulitkan upaya pengawasan dan koreksi kebijakan pemerintahan. Hal ini
dikarenakan sistem politik di Indonesia belum memiliki bangunan sistem yang
kokoh yang mengakomodasi adanya kubu oposisi dan kubu pemerintah, bahkan
cenderung terbentuk slogan, mari sama-sama dalam pemerintahan.
II.
Kerangka
Teori
Untuk
membedah masa depan koalisi Parpol dan Pemilu 2019, penulis mengambil tiga
teori yang dikemukakan oleh William H. Riker, Robert Axelrod dan Kevin Raymond
Evans.
Teori
koalisi William H. Riker’s Minimal Winning Coalition (MWC) Koalisi pemenang
terendah berdasarkan “prinsip ukuran” memprediksi bahwa koalisi pemenang
terendah akan terbentuk , jika koalisi pemenang (mayoritas) yang hanya diikuti
oleh sedikit partai politik saja yang dibutuhkan untuk memberikan status
mayoritas dalam kabinet. Selain teori koalisi Riker, ada juga teori Minimal
Connected Winning (MCW), Koalisi Pemenang Hubungan Terendah dari Robert Axelrod, Dia memprediksi bahwa koalisi yang
membentuk keduanya “ berhubungan” yaitu terdiri dari partai-partai yang
berdekatan dalam skala kebijakan dan tidak memiliki mitra yang tidak diperlukan
(Lijphart, 1999:92-93).
Perbedaan
Axelrod dengan Riker adalah tujuan koalisi. Jika Riker menekankan partai
bersifat office seeking
(memaksimalkan kekuasaan), sedang Axelrod menekankan Partai sebagai policy seeking ( menerapkan kebijakan
sesuai program partai) (Wardani, 2007:
15)
Kevin R Evans menawarkan rumusan belahan ideologis partai
politik di Indonesia yang berlaku pasca Orde Baru. Menurutnya, belahan-belahan
garis Ideologis kunci yang muncul sejak kemerdekaan dan tetap bertahan sampai
hari ini, dapat dianggap terdiri dari dua garis spektrum lebar (Evans,
2003:8-10). Pertama adalah belahan kiri dan kanan yang jika diadopsi dalam
sistem kepartaian di Indonesia adalah Sekuler dan Islam. Kedua adalah belahan
atas dasar basis dukungan partai yang dapat dibedakan atas elitis dan populis.
(Wardani, 2007 : 50)
III.
Pembahasan
Jika
melihat kembali fungsi partai politik menurut Budiardjo (2008) ada 4(empat)
fungsi partai politik, yaitu komunikasi politik, sosialisasi politik,
rekruitmen politik, dan pengelolaan konflik. Berdasarkan empat fungsi tersebut,
Partai politik mempunyai peran strategis dalam menghasilkan kader-kader
berkualitas yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Sehingga upaya membentuk
koalisi Partai politik adalah bentuk komunikasi politik antar partai politik
peserta Pemilu untuk membentuk suatu pemerintahan.
Sistem
politik yang berkembang dalam konteks tata negara di Indonesia, masih bertumpu
pada pelaksanaan Pemilu dan hasil Pemilu dalam hal pembagian pos-pos kekuasaan,
sehingga Parpol-parpol di Indonesia mudah sekali ditawari jabatan kekuasaan
karena tidak ada sistem politik yang mapan mengatur adanya kubu oposisi dan
kubu pemerintahan, sehingga upaya untuk membentuk sistem politik itu perlu
kesepakatan antar elit, bahwa sistem politik di Indonesia mengakomodasi kubu
oposisi dan kubu pemerintah, dalam koalisi yang permanen.
Jika
menggunakan teori Riker, pemerintahan Jokowi-Jk menerapkan prinsip
memaksimalkan kekuasaan, dengan mengajak parpol-parpol yang sebelumnya berada
di KMP yaitu Partai Golkar, PAN, dan PPP menjadi parpol pendukung pemerintah
sehingga terbentuk koalisi parpol-parpol pendukung pemerintah yang gemuk,
tentunya dukungan Parpol tersebut bukan tanpa kompensasi, namun dengan
kompensasi kursi menteri kabinet.
Tarikan-tarikan
parpol dari KMP menjadi pendukung Pemerintah yang sangat rapuh karena sistem
politik di Indonesia tidak mengadopsi sistem oposisi dan pemerintahan dalam
kekuasaan, untuk itu agar terbentuk koalisi permanen ada 3 (tiga) perbaikan ,
pertama Perbaikan Sistem Politik, kedua Tata Kelola Partai Politik, dan ketiga
Perbaikan Sistem Pemerintahan.
III.1 Perbaikan Sistem Politik
Jika
melihat UU Parpol pembentukan parpol ini sangat menyulitkan sekali, sehingga
tawaran-tawaran kekuasaan sangat mudah diterima, dengan kekuasaan bisa mengganti
biaya pembentukan parpol, Jika kita melihat Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun
2011 Pasal 3 Ayat 2 huruf c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling
sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada
provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
Sesuai
Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 8 Ayat (2) Partai politik yang
tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai
politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus
badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. memiliki
kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki
kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki
kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
e. menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki
anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu)
dari jumlahPenduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada
huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. mempunyai
kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan
nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. menyerahkan
nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
Pasca
Reformasi 98, Evans menggambarkan rumusan belahan ideologis partai politik di
Indonesia yang berlaku pasca Orde Baru. Menurutnya, belahan-belahan garis
Ideologis kunci yang muncul sejak kemerdekaan dan tetap bertahan sampai hari
ini, dapat dianggap terdiri dari dua garis spektrum lebar. Pertama adalah
belahan kiri dan kanan yang jika diadopsi dalam sistem kepartaian di Indonesia
adalah Sekuler dan Islam. Kedua adalah belahan atas dasar basis dukungan partai
yang dapat dibedakan atas elitis dan populis (Wardani, 2007 : 50). Walaupun
saat ini belahan ideologis itu lebih mencair, namun selalu ada relevansi
keterikatan ideologis-idelogis dalam parpol yang masih bertarung di Pemilu
2014.
Pemilu
2019 adalah pemilu serentak pertama Pemilihan legilatif anggota DPR RI, DPD RI,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilihan Presiden, sebagaimana
amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 14/PUU-XI/2013. MK mempertimbangkan
tiga hal pokok, yakni kaitan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem
pemerintahan presidensial, efektivitas dan efisiensi penyelenggaran pemilihan
umum serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Seharusnya
pembentukan Partai Politik Baru harus mudah baik dalam pembentukan maupun dalam
ikut serta dalam pelaksanaan pemilihan umum, namun dalam perolehan kursi DPR
harus dengan treshold yang tinggi minimal 5 % dari suara nasional.
Sistem
politik yang berkembang saat ini, mengarah ke sistem politik transaksional,
sehingga parpol-parpol yang memiliki pendanaan besar, sehingga pembiayaan ini
sangat memberatkan Parpol, situasi ini semakin diperparah dengan sistem
proporsional terbuka, sehingga persaingan antar caleg sangat ketat, tak jarang
terjadi jual beli suara yang dilakukan oleh para calon legislator. Sesuai Pasal
22 E ayat (3) Peserta Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.
Perkembangan
politik terkini Parpol masih berkutat masalah eletoral treshold dan sistem proporsional terbuka dan tertutup,
padahal membangun sistem pemerintahan yang stabil dengan chek balances dari kubu oposisi adalah sebuah jawaban atas segala, dalam menjalankan pemerintahan,
sehingga pemerintah bergerak cepat dalam merealisasikan target-target
pembangunan, namun Keputusan MK yang mengharuskan Pemilu dan Pilpres secara
bersamaan menjadi situasi politik kedepan semakin ketat.
UU
Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 sebelumnya mengatur bahwa tahapan Pemilu dimulai 30
Bulan sebelum pelaksanaannya, Tentunya Pemilu 2019, perlu ada payung hukum
berupa Undang-undang yang mengatur keserentakannya, Pileg dan Pilpres, ini akan
menjadi pekerjaan rumah Pemerintah dan DPR untuk merumuskan kembali Revisi
Paket UU Pemilu, dan yang terpenting Paket UU Pemilu harus masuk Program
Legislasi Nasional Tahun 2016 dan semoga pemerintah sudah menyiapkannya sebaik
mungkin, Tatanan sistem politik harus mulai diperbaiki, kesepakatan bersama.
III.2 Perbaikan Tata Kelola Partai
Politik
Parpol
menjelang Pemilu 2019 harus memperbaiki Tata kelola partai politik, ada 6
(enam) hal yang perlu dipersiapkan Parpol menjelang Pemilu 2019 adalah Pertama,
Menentukan Arah Kebijakan Partai Politik dalam menghadapi Pemilu 2019. Kedua, memastikan struktur Partai
memenuhi ketentuan, mereka melakukan verifikasi awal terhadap partai dan
insfrastrukturnya Ketiga persaingan antar partai yang
semakin ketat, sehingga tugas parpol-parpol untuk meningkatkan perolehan suara pada
pemilu 2019, dimana Parpol–parpol baru maupun Parpol lama siap-siap saling menggerus
suara.
Keempat memiliki dana
yang relatif mencukupi untuk menghidupi Partai Politik, berhubunganan
insfrastruktur sarana prasarana kantor harus dilengkapi. Kelima memilih calon
pengurus yang memiliki semangat membangun partai jangan sampe pengurus diisi
oleh para “pemain” yang kedepannya akan merugikan Partai politik tersebut,
Keenam menyiapkan tokoh yang akan menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden,
karena Pemilu 2019 adalah Pemilu serentak pertama Presiden dan Legislatif
sesuai amanat keputusan MK.
Jika parpol mampu melaksanakan
manajemen Parpol dengan sebaik-baiknya, maka sudah sewajarnya parpol bisa
mandiri dan tidak tergantung kepada tawaran kekuasaan dalam pemerintahan,
karena sejatinya Parpol adalah tempat bernaungnya kader-kader yang siap
memimpin bangsa, namun parpol yang ada di Indonesia pada saat sekarang ini,
masih miskin ide, miskin prestasi, dan terpenting miskin dana, sehingga kita
melihat betapa banyak kader-kader parpol yang tersangkut kasus-kasus korupsi,
ini tentunya keprihatinan kita semua, bahwa Parpol di negeri ini belum mandiri
dan sangat ketergantungan kepada kekuasaan.
III.3 Perbaikan Sistem Pemerintahan
Pasal
4 UUD 1945, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar. Namun dalam praktek ketatanegaraan sistem pemerintahan
sangat kental sistem Parlementer, dimana pihak yang berkuasa mengajak Parpol-parpol yang semula
tidak mendukung calon Presiden, diajak bergabung dengan Presiden terpilih
dengan kompensasi kursi menteri kabinet, ini anomali sistem presedensiil di Indonesia.
Hasil
Pemilu 2014 menggambarkan konfigurasi politik yang dinamis, dimana PDIP sebagai
pemenang Pemilu mampu mengantarkan kadernya Joko Widodo sebagai Presiden RI
ke-7, namun dalam menjalankan Pemerintahan tampaknya Pemerintahan Jokowi-JK
masih kurang percaya diri, sehingga menarik-narik Parpol-parpol yang berada di
KMP untuk bergabung dengan Pemerintah, hal ini dimaklumi ketika perebutan
Pimpinan DPR/MPR KIH kalah telak oleh KMP, dan menarik Parpol di KMP ke kubu
Pemerintah dalam rangka mengamankan agenda Kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK
yang banyak kontroversi.
Pemilu
2019, sebagai pemilu serentak pertama, akan ada komposisi baru, apakah calon
presiden yang menang memiliki preferensi terhadap Parpol yang akan menang.
Parpol yang menang pemilu sama dengan calon presiden yang diajukan Parpol yang
menang tersebut atau Calon Presiden yang menang berbeda dengan parpol yang
menang pemilu ? tentunya menarik jika Presiden yang menang berbeda dengan
parpol yang menang pemilu, bagaimana Presiden membangun pemerintahannya, jika
menggunakan teori Riker, maka Presiden akan membentuk pemerintahan dengan
memaksimalkan kekuasaan. pemerintahan yang terbentuk akan melakukan
koalisi-koalisi dengan parpol yang masuk 3 besar, dalam rangka memperkuat
pemerintahan.
Hasil
Pemilu 2019 diharapkan melahirkan sistem pemerintahan yang baru dimana adanya
kubu oposisi dan kubu pemerintah sehingga jelas kelaminnya, namun jika melihat
dinamika yang ada koalisi antar partai, dimana godaan besar terhadap partai
politik sangat mungkin susah mencari kubu oposisi. Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi maka sebaiknya Presiden melakukan perbaikan sistem pemerintahan
yang ada sekarang, dimana Presiden membentuk pemerintahan dengan mengakomodasi adanya
kubu oposisi dengan kubu pemerintah yang diatur secara permanen dalam
undang-undang, sehingga wajah politik kedepan lebih jelas wajahnya akan ada
Parpol kubu pemerintah dan parpol kubu oposisi.
Harus
ada kesepakatan bersama elit politik pola koalisi yang akan dibangun, sebaiknya
parpol terbagi dua kubu, ada kubu yang dipemerintahan dan ada yang kubu di
oposisi, kita harus berani berkembang, jangan sampai semua merapat kepada
pemerintah sehingga peran kontrol kepada pemerintah melemah, dan juga jangan
sampai kubu pemerintah mengancam kubu oposisi, agar bergabung dengan kubu
pemerintah.
KIH
|
PEMERINTAHAN HASIL PEMILU 2014
|
PERBAIKAN
|
|
KUBU PEMERINTAH
|
||||||
KMP
|
|
|
SISTEM POLITIK
|
|
PEMILU 2019
|
|
TATANAN POLITIK BARU KOALISI PERMANEN
|
|
||
TATA KELOLA PARPOL
|
KUBU OPOSISI
|
|||||||||
SISTEM PEMERINTAHAN
|
||||||||||
Gambar 3.1 Skema Tatanan Politik Baru
IV.
Penutup
Masa Depan Koalisi
Parpol dan Pemilu 2019, sangat tergantung kesepakatan antar elit Parpol yang
ada, namun sejauh ini keputusan elit parpol masih bertumpu, bagaimana sebuah
parpol dapat “jatah” kekuasaan melalui kursi menteri tanpa mempertimbangkan
perbaikan sistem politik yang ada. Padahal sejatinya kita semua bisa kembali
sesuai amanat pembukaan UUD 1945 membentuk suatu pemerintahan, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. serta tak kalah pentingnya perbaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Friday, 11 November 2016
Monday, 31 October 2016
Wednesday, 26 October 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)